Saturday, 26 July 2014

menanggapi dasar hukum yang memperbolehkan Lokalisasi

LOKALISASI PELACURAN(menanggapi dasar hukum yang memperbolehkan Lokalisasi)


menanggapi dasar hukum yang memperbolehkan Lokalisasi

Deskripsi Masalah
       Tim Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU (Hasil Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU tentang Penanggulangan HIV-AIDS/Red. Ulil H telah menyetujui ide lokalisasi pelacuran dengan dalih untuk menekan penyebaran HIV/AIDS. Menurutnya, untuk meminimalisir penularan HIV, salah satu Strategi Nasional dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang sedang dikembangkan adalah membentuk organisasi komunitas yang akan menjadi wadah bagi mereka untuk turut berpartisipasi dalam program penanggulangan HIV dan AIDS.
Salah satu yang sudah terbentuk dengan fasilitasi KPAN adalah Organisasi Pekerja Seks Indonesia (OPSI) yang menghuni tempat-tempat lokalisasi. Ini bisa dipahami, karena organisasi ini dibentuk oleh Negara, maka kehadiran dan aktivitasnya menjadi legal. Tindakan-tindakan stigmatik dan kriminalisasi terhadap mereka menjadi tidak bisa dibenarkan. Sementara itu, perzinaan atau seks bebas merupakan perbuatan yang dilarang agama.
Pada hakikatnya, kewajiban pemerintah adalah menegakkan keadilan bagi masyarakat sehingga kemaslahatan tercapai. Pemerintah harus membuat regulasi yang melarang praktek perzinaan dan pada saat yang sama menegakkan regulasi tersebut. Inilah maslahah ‘ammah yang wajib dilakukan pemerintah.
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة 
”Perlakuan (kebijakan) imam atas rakyat mengacu pada maslahat” 
Lokalisasi hadir sebagai solusi pemerintah untuk mengurangi dampak negatif perzinaan, bukan menghalalkannya. Dengan dilokalisir, efek negatif perzinaan dapat dikelola dan dikontrol sehingga tidak menyebar ke masyarakat secara luas, termasuk penyebaran virus HIV. Dengan kontrol yang ketat dan penyadaran yang terencana, secara perlahan keberadaan lokalisasi akan tutup dengan sendirinya karena para penghuninya telah sadar dan menemukan jalan lain yang lebih santun.
Tujuan ini akan tercapai manakala program lokalisasi dibarengi dengan konsistensi kebijakan dan usaha secara massif untuk menyelesaikan inti masalahnya. Kemiskinan, ketimpangan sosial, peyelewengan aturan, dan tatanan sosial harus diatasi. Mereka yang melakukan praktik perzinaan di luar lokalisasi juga harus ditindak tegas. Jika saja prasyarat tersebut dilakukan, tentu mafsadahnya lebih ringan dibanding kondisi yang kita lihat sekarang.
الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف
”Bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan” 
(Ibn Nujaim Al-Hanafi, al-Asybah wa an-Nazhair, tahqiq Muthi` Al-Hafidz, Bairut-Dar Al-Fikr, hal: 96)
فإنكار المنكر أربع درجات الأولى أن يزول ويخلفه ضده الثانية أن يقل وإن لم يزل بجملته الثالثة أن يخلفه ما هو مثله الرابعة أن يخلفه ما هو شر منه فالدرجتان الأوليان مشروعتان والثالثة موضع اجتهاد والرابعة محرمة (ابن قيم الجوزية، إعلام الموقعين عن رب العالمين، تحقيق : طه عبد الرءوف سعد, بيروت-دار الجيل، 1983م، الجزء الثالث، ص. 4)
"Ingkar terhadap perkara yang munkar itu ada empat tingkatan. Pertama : perkara yang munkar hilang  dan digantikan oleh kebalikannya ( yang baik atau ma’ruf); kedua : perkara munkar berkurang sekalipun tidak hilang secara keseluruhan; ketiga : perkara munkar hilang digantikan dengan kemunkaran lain yang kadar kemungkrannya sama. Keempat: perkara munkar hilang digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar. Dua tingkatan yang pertama diperintahkan oleh syara’, tingkatan ketiga merupakan ranah ijtihad, dan tingkatan keempat hukumnya haram". (Ibn Qoyyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi'in an Rabbi al-‘Alamin, tahqiq: Thaha Abdurrouf  Saad, Bairut- Dar al-Gel, 1983. M, vol: III, h. 40) (sumber: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,49730-lang,id-c,syariah-t,Dasar+Hukum+yang+Membolehkan+Lokalisasi-.phpx)

Pertanyaan :
  1. Benarkah penalaran penggunaan dalil yang digunakan oleh Tim Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU? Sebatas manakah dalil-dalil / qoidah-qoidah di atas bisa digunakan?
JAWABAN: Tidak dibenarkan, dengan alasan beberapa hal sebagai berikut :
  1. Qoidah-qoidah (dasar-dasar) yang dipakai di atas masih bersifat umum, sehingga tidak boleh dibuat dalil / pijakan hukum, sebab sebuah qoidah itu sendiri lahir karena berpijak dari bagian-bagian hukum fiqh yang sudah ada nash-nya.
  2. Mafsadah (karusakan atau bahaya) yang dianggap lebih ringan oleh Tim Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU (dalam membuat lokalisasi) justru merupakan mafsadah yang lebih besar sebagaimana yang tertuang dalam hadist-hadist yang menerangkan bahwa dosa yang dilakukan oleh suatu umat itu bisa diampuni kecuali yang sudah terang-terangan (mujaharah). Bahkan dalam satu riwayat diterangkan bahwa jika Allah SWT akan menjadikan kerusakan (banyaknya pembunuhan, penyakit, kemiskinan, hina dll.)  pada suatu kaum, maka Allah SWT akan menampakkan perzinaan pada kaum tersebut.    
  3. Dloror (bahaya) yang lebih ringan boleh dilakukan ketika sudah tidak ada solusi lain. Karena, jika masih ada jalan lain, maka belum masuk ranah dloruroh (keadaan darurat).
  4. Mashlahah yang dipandang Tim Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU hanya bersifat sosial, tidak ada mashlahah ukhrowinya (akhirat). Padahal mashlahah yang dilegalkan syariat itu harus kembali pada dunia (sosial, read) dan akhirat (yang ada kaitannya dengan agama).
  5. Jika ada dloror yang bersifat dunia bertentangan dengan dloror yang bersifat akhirat, maka yang didahulukan adalah dloror yang bersifat akhirat.
  6. Mafsadah yang ditimbulkan sudah nyata (berupa perzinaan yang jelas-jelas dilarang oleh syariat Islam dan berdampak pada rusaknya moral dan nasab), sedangkan mashlahah (yang dianggap oleh Tim Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU) masih mauhumah (belum jelas). Dengan melegalkan lokalisasi, berarti membuat dloror baru (yang berupa lokalisasi).
  7. Dengan melegalkan lokalisasi, hal itu dapat menimbulkan persepsi buruk pada masyarakat bahwasanya zina itu diperbolehkan.
  8. Dalil dalil yang ditawarkan oleh Tim Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU bisa digunakan selagi tidak ada solusi lain. Kenyataannya, masih ada solusi lain selain melegalkan lokalisasi sebagaimana kebijakan yang dilakukan oleh Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharani yang berhasil menutup beberapa lokalisasi di Surabaya dan memberikan solusinya. (NU Online : 28/02/2014)

Referensi:
قواعد الأحكام في مصالح الأنام - (1 / 89) 
والذي يسميه الجهلة البطلة سياسة هو فعل المفاسد الراجحة أو ترك المصالح الراجحة على المفاسد. ففي تضمين المكوس والخمور والأبضاع مصالح مرجوحة مغمورة بمفاسد الدنيا والآخرة: {وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ}، وبمثل هذا يفتنون الأشقياء أنفسهم بإيثار المفاسد الراجحة على المصالح قضاء للذات الأفراح العاجلة، ويتركون المصالح الراجحة للذات خسيسة أو أفراح دنيئة، ولا يبالون بما رتب عليها من المفاسد العاجلة أو الآجلة. وذلك كشرب الخمور والأنبذة للذة إطرابها، والزنا أو اللواط، وأذية الأعداء المحرمة، وقتل من أغضبهم وسب من غاضبهم، وغصب الأموال والتكبر والتجبر، وكذلك يهربون من الآلام والغموم العاجلة التي أمرنا بتحملها لما في تحملها من المصالح العاجلة، ولا يبالون بما يلتزمون من تحمل أعظم المفسدتين تحصيلا للذات أدناهما، وكذلك يتركون أعظم المصلحتين تحصيلا للذات أدناهما. أسكرتهم اللذات والشهوات فنسوا الممات وما بعده من الآفات فويل لمن ترك سياسة الرحمن، واتبع سياسة الشيطان، وارتكب الفسوق والعصيان، أولئك أهل البغي والضلال.

الأشباه والنظائر دار الكتب العلمية ص: 5
اما القاعدة الفقهية فإنها ليست أصلا في إثبات حكم جزءياتها بل حكم القاعدة نفسها مستمد من حكم جزءياتها إذ نجد أن كل قاعدة فقهية إنما تكونت من المعنى الجامع بين جزئيانها ومن أجلها حكم عليها بهذا الحكم.   

تيسير علم أصول الفقه .. للجديع  (1 / 7)
"الفرق بين القاعدة الأصولية والفقهية:
القاعدة الأصولية هي: دلالة يهتدي بها المجتهد للتوصل إلى استخراج الأحكام الفقهية، فهي آلته التي يستعملها لاستفادة تلك الأحكام، كالقواعد الثلاث المتقدمة. أما القاعدة الفقهية؛ فهي الجملة الجامعة من الفقه تندرج تحتها جزئيات كثيرة، بمنزلة النصوص الجوامع للمعاني، كالمناسبة التي تلاحظها بين القاعدة الفقهية: (الأمور بمقاصدها)، وبين قوله - صلى الله عليه وسلم -: ((إنما الأعمال بالنيات))

قواعد الأحكام في مصالح الأنام - (1 / 6)
وأما مصالح الآخرة ومفاسدها فلا تعرف إلا بالنقل، ومصالح الدارين ومفاسدهما في رتب متفاوتة فمنها؛ ما هو في أعلاها، ومنها ما هو في أدناها، ومنها ما يتوسط بينهما، وهو منقسم إلى متفق عليه ومختلف فيه. فكل مأمور به ففيه مصلحة الدارين أو إحداهما، وكل منهي عنه ففيه مفسدة فيهما أو في إحداهما، فما كان من الاكتساب محصلا لأحسن المصالح فهو أفضل الأعمال، وما كان منها محصلا لأقبح المفاسد فهو أرذل الأعمال. فلا سعادة أصلح من العرفان والإيمان وطاعة الرحمن، ولا شقاوة أقبح من الجهل بالديان والكفر والفسوق والعصيان. ويتفاوت ثواب الآخرة بتفاوت المصالح في الأغلب، ويتفاوت عقابها بتفاوت المفاسد في الأغلب. ومعظم مقاصد القرآن الأمر باكتساب المصالح وأسبابها، والزجر عن اكتساب المفاسد وأسبابها، فلا نسبة بمصالح الدنيا ومفاسدها إلى مصالح الآخرة ومفاسدها، لأن مصالح الآخرة خلود الجنان ورضا الرحمن، مع النظر إلى وجهه الكريم، فيا له من نعيم مقيم، ومفاسدها خلود النيران وسخط الديان مع الحجب عن النظر إلى وجهه الكريم، فيا له من عذاب أليم. إلى  أن قال : فائدة - قدم الأولياء والأصفياء مصالح الآخرة على مصالح هذه الدار لمعرفتهم بتفاوت المصلحتين ودرءوا مفاسد الآخرة بالتزام مفاسد بعض هذه الدار لمعرفتهم بتفاوت الرتبتين. وأما أصفياء الأصفياء فإنهم عرفوا أن لذات المعارف والأحوال أشرف اللذات فقدموها على لذات الدارين. ولو عرف الناس كلهم من ذلك ما عرفوه؛ لكانوا أمثالهم فنصبوا ليستريحوا واغتربوا ليقتربوا.

قواعد الأحكام في مصالح الأنام - (1 / 37)
فصل: في انقسام المفاسد إلى العاجل والآجل
المفاسد ثلاثة أقسام - أحدها: ما يجب درؤه فإن عظمت مفسدته وجب درؤه في كل شريعة وذلك كالكفر والقتل والزنا والغصب وإفساد العقول 

جامع الأحاديث - (15 / 313)
كل أمتى معافى إلا المجاهرين وإن من المجاهرة أن يعمل الرجل بالليل عملا ثم يصبح وقد ستره الله فيقول عملت البارحة كذا وكذا وقد بات يستره ربه ويصبح يكشف ستر الله عنه (البخارى ، ومسلم عن أبى هريرة) 

جامع الأحاديث - (2 / 274)
 إذا أرادَ الله بقريةٍ هلاكا أظهر فيهم الزنا (الديلمى عن أبى هريرة) 
الموافقات - (2 / 65)
أن المنافع والمضار عامتها أن تكون إضافية لا حقيقية، ومعنى كونها إضافية أنها منافع أو مضار في حال دون حال، وبالنسبة إلى شخص دون شخص، أو وقت دون وقت، فالأكل والشرب مثلا منفعة للإنسان ظاهرة، ولكن عند وجود داعية الأكل، وكون المتناول لذيذا طيبا، لا كريها ولا مرا، وكونه لا يولد ضررا عاجلا ولا آجلا، وجهة اكتسابه لا يلحقه به ضرر عاجل ولا آجل، ولا يلحق غيره بسببه أيضا ضرر عاجل ولا آجل، وهذه الأمور قلما تجتمع، فكثير من المنافع تكون ضررا على قوم لا منافع، أو تكون ضررا في وقت أو حال، ولا تكون ضررا في آخر، وهذا كله بين في كون المصالح والمفاسد مشروعة أو ممنوعة لإقامة هذه الحياة، لا لنيل الشهوات، ولو كانت موضوعة لذلك، لم يحصل ضرر مع متابعة الأهواء، ولكن ذلك لا يكون، فدل على أن المصالح والمفاسد لا تتبع الأهواء

فيض القدير - (1 / 343)
 (إذا أراد الله بقرية) أي بأهلها على حد * (واسأل القرية) * (هلاكا) بنحو كثرة قتل وطاعون وفقر وذل كما يدل له خبر الحاكم إذا كثر الزنا كثر القتل ووقع الطاعون وذلك لأن حد الزنا القتل فإذا لم يقم الحد فيهم سلط الله عليهم الجن فقتلوهم وفي خبر البزار إذا ظهر الزنا في قوم ظهر فيهم الفقر والمسكنة ونكر الهلاك لمزيد التهويل (أظهر) أي أفشى (فيهم الزنا) أي التجاهر بفعله وهو بالقصر أفصح وذلك لأن المعصية إذا خفيت لم تضر إلا صاحبها وإذا ظهرت ضرت الخاصة والعامة وخص الزنا لأنه يفسد الأنساب ونوع الإنسان الذي هو أشرف المخلوقات ولهذا لم يحل في شريعة قط ولما كان الجزاء من جنس العمل وكانت لذة الزنا تعم البدن جعل الله جزاءهم بعموم إهلاكهم وفي رواية الربا بدل الزنا بموحدة (فر عن أبي هريرة) وفيه حفص بن غياث فإن كان النخعي ففي الكاشف ثبت إذا حدث من كتابه ، وإن كان الراوي عن ميمون فمجهول.

ا الأحكام السلطانية  - (ج 2 / ص 10)
( فصل ) وأما المعاملات المنكرة كالزنا والبيوع الفاسدة وما منع الشرع منه مع تراضي المتعاقدين به إذا كان متفقا على حظره فعلى والي الحسبة إنكاره والمنع منه والزجر عليه وأمره في التأديب مختلف لحسب الأحوال وشدة الحظر . 

بغية المسترشدين - (1 / 537)
الرابع : نفس الاحتساب وله درجات : التعريف ، ثم الوعظ بالكلام اللطيف ، ثم السب والتعنيف ، ثم المنع بالقهر ، والأولان يعمان سائر المسلمين ، والأخيران مخصوصان بولاة الأمور

إحياء علوم الدين - (2 / 329)
الركن الرابع نفس الاحتساب
إلى أن قال-
الدرجة الخامسة التغيير باليد وذلك ككسر الملاهي وإراقة الخمر وخلع الحرير من رأسه وعن بدنه ومنعه من الجلوس عليه ودفعه عن الجلوس على مال الغير وإخراجه من الدار المغصوبة بالجر برجله وإخراجه من المسجد إذا كان جالسا وهو جنب وما يجري مجراه  -إلى أن قال - فاعلم أن الزجر إنما يكون عن المستقبل والعقوبة تكون على الماضي والدفع على الحاضر الراهن وليس إلى آحاد الرعية إلا الدفع وهو إعدام المنكر فما زاد على قدر الإعدام فهو إما عقوبة على جريمة سابقة أو زجر عن لاحق وذلك إلى الولاة لا إلى الرعية نعم الوالي له أن يفعل ذلك إذا رأى المصلحة فيه وأقول له أن يأمر بكسر الظروف التي فيها الخمور زجرا وقد فعل ذلك في زمن رسول الله صلى الله عليه و سلم تأكيدا للزجر // حديث تكسير الظروف التي فيها الخمور في زمنه صلى الله عليه و سلم أخرجه الترمذي من حديث أبي طلحة أنه قال يا نبي الله إني اشتريت خمرا لأيتام في حجري قال أهرق الخمر واكسر الدنان وفيه ليث بن أبي سليم والأصح رواية السدي عن يحيى بن عباد عن أنس أن أبا طلحة كان عندي قاله الترمذي // ولم يثبت نسخه ولكن كانت الحاجة إلى الزجر والفطام شديدة فإذا رأى الوالي باجتهاده مثل الحاجة جاز له مثل ذلك وإذا كان هذا منوطا بنوع اجتهاد دقيق لم يكن ذلك لآحاد الرعية فإن قلت فليجز للسلطان زجر الناس عن المعاصي بإتلاف أموالهم وتخريب دورهم التي فيها يشربون ويعصون وإحراق أموالهم التي بها يتوصلون إلى المعاصي 

0 comments:

Post a Comment