Showing posts with label Hukum. Show all posts
Showing posts with label Hukum. Show all posts

Saturday, 26 July 2014

riba karena beda takaran

Hukum Penukaran Uang adalah termasuk riba fadhl (riba karena kelebihan).

Jika uang sejenis, misalnya: rupiah dengan rupiah, maka barter harus senilai tanpa ada selisih, dan tukar menukar dilakukan di tempat transaksi. jika ada selisih maka itu haram karena termasuk riba fadhl.
Dalilnya:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ ، وَلاَ تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ
Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali beratnya sama, dan jangan melebihkan salah satunya. Jangan kalian menjual perak dengan perak kecuali beratnya sama, dan jangan melebihkan salah satunya.” (H.r. Bukhari)
Para ulama mengqiyaskan (analogi) uang zaman sekarang dengan emas atau perak, sehingga hukum penukaran uang itu sama dengan tukar menukar emas dan perak.

menanggapi dasar hukum yang memperbolehkan Lokalisasi

LOKALISASI PELACURAN(menanggapi dasar hukum yang memperbolehkan Lokalisasi)


menanggapi dasar hukum yang memperbolehkan Lokalisasi

Deskripsi Masalah
       Tim Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU (Hasil Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU tentang Penanggulangan HIV-AIDS/Red. Ulil H telah menyetujui ide lokalisasi pelacuran dengan dalih untuk menekan penyebaran HIV/AIDS. Menurutnya, untuk meminimalisir penularan HIV, salah satu Strategi Nasional dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang sedang dikembangkan adalah membentuk organisasi komunitas yang akan menjadi wadah bagi mereka untuk turut berpartisipasi dalam program penanggulangan HIV dan AIDS.
Salah satu yang sudah terbentuk dengan fasilitasi KPAN adalah Organisasi Pekerja Seks Indonesia (OPSI) yang menghuni tempat-tempat lokalisasi. Ini bisa dipahami, karena organisasi ini dibentuk oleh Negara, maka kehadiran dan aktivitasnya menjadi legal. Tindakan-tindakan stigmatik dan kriminalisasi terhadap mereka menjadi tidak bisa dibenarkan. Sementara itu, perzinaan atau seks bebas merupakan perbuatan yang dilarang agama.
Pada hakikatnya, kewajiban pemerintah adalah menegakkan keadilan bagi masyarakat sehingga kemaslahatan tercapai. Pemerintah harus membuat regulasi yang melarang praktek perzinaan dan pada saat yang sama menegakkan regulasi tersebut. Inilah maslahah ‘ammah yang wajib dilakukan pemerintah.
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة 
”Perlakuan (kebijakan) imam atas rakyat mengacu pada maslahat” 
Lokalisasi hadir sebagai solusi pemerintah untuk mengurangi dampak negatif perzinaan, bukan menghalalkannya. Dengan dilokalisir, efek negatif perzinaan dapat dikelola dan dikontrol sehingga tidak menyebar ke masyarakat secara luas, termasuk penyebaran virus HIV. Dengan kontrol yang ketat dan penyadaran yang terencana, secara perlahan keberadaan lokalisasi akan tutup dengan sendirinya karena para penghuninya telah sadar dan menemukan jalan lain yang lebih santun.
Tujuan ini akan tercapai manakala program lokalisasi dibarengi dengan konsistensi kebijakan dan usaha secara massif untuk menyelesaikan inti masalahnya. Kemiskinan, ketimpangan sosial, peyelewengan aturan, dan tatanan sosial harus diatasi. Mereka yang melakukan praktik perzinaan di luar lokalisasi juga harus ditindak tegas. Jika saja prasyarat tersebut dilakukan, tentu mafsadahnya lebih ringan dibanding kondisi yang kita lihat sekarang.
الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف
”Bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan” 
(Ibn Nujaim Al-Hanafi, al-Asybah wa an-Nazhair, tahqiq Muthi` Al-Hafidz, Bairut-Dar Al-Fikr, hal: 96)
فإنكار المنكر أربع درجات الأولى أن يزول ويخلفه ضده الثانية أن يقل وإن لم يزل بجملته الثالثة أن يخلفه ما هو مثله الرابعة أن يخلفه ما هو شر منه فالدرجتان الأوليان مشروعتان والثالثة موضع اجتهاد والرابعة محرمة (ابن قيم الجوزية، إعلام الموقعين عن رب العالمين، تحقيق : طه عبد الرءوف سعد, بيروت-دار الجيل، 1983م، الجزء الثالث، ص. 4)
"Ingkar terhadap perkara yang munkar itu ada empat tingkatan. Pertama : perkara yang munkar hilang  dan digantikan oleh kebalikannya ( yang baik atau ma’ruf); kedua : perkara munkar berkurang sekalipun tidak hilang secara keseluruhan; ketiga : perkara munkar hilang digantikan dengan kemunkaran lain yang kadar kemungkrannya sama. Keempat: perkara munkar hilang digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar. Dua tingkatan yang pertama diperintahkan oleh syara’, tingkatan ketiga merupakan ranah ijtihad, dan tingkatan keempat hukumnya haram". (Ibn Qoyyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi'in an Rabbi al-‘Alamin, tahqiq: Thaha Abdurrouf  Saad, Bairut- Dar al-Gel, 1983. M, vol: III, h. 40) (sumber: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,49730-lang,id-c,syariah-t,Dasar+Hukum+yang+Membolehkan+Lokalisasi-.phpx)

Pertanyaan :
  1. Benarkah penalaran penggunaan dalil yang digunakan oleh Tim Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU? Sebatas manakah dalil-dalil / qoidah-qoidah di atas bisa digunakan?
JAWABAN: Tidak dibenarkan, dengan alasan beberapa hal sebagai berikut :
  1. Qoidah-qoidah (dasar-dasar) yang dipakai di atas masih bersifat umum, sehingga tidak boleh dibuat dalil / pijakan hukum, sebab sebuah qoidah itu sendiri lahir karena berpijak dari bagian-bagian hukum fiqh yang sudah ada nash-nya.
  2. Mafsadah (karusakan atau bahaya) yang dianggap lebih ringan oleh Tim Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU (dalam membuat lokalisasi) justru merupakan mafsadah yang lebih besar sebagaimana yang tertuang dalam hadist-hadist yang menerangkan bahwa dosa yang dilakukan oleh suatu umat itu bisa diampuni kecuali yang sudah terang-terangan (mujaharah). Bahkan dalam satu riwayat diterangkan bahwa jika Allah SWT akan menjadikan kerusakan (banyaknya pembunuhan, penyakit, kemiskinan, hina dll.)  pada suatu kaum, maka Allah SWT akan menampakkan perzinaan pada kaum tersebut.    
  3. Dloror (bahaya) yang lebih ringan boleh dilakukan ketika sudah tidak ada solusi lain. Karena, jika masih ada jalan lain, maka belum masuk ranah dloruroh (keadaan darurat).
  4. Mashlahah yang dipandang Tim Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU hanya bersifat sosial, tidak ada mashlahah ukhrowinya (akhirat). Padahal mashlahah yang dilegalkan syariat itu harus kembali pada dunia (sosial, read) dan akhirat (yang ada kaitannya dengan agama).
  5. Jika ada dloror yang bersifat dunia bertentangan dengan dloror yang bersifat akhirat, maka yang didahulukan adalah dloror yang bersifat akhirat.
  6. Mafsadah yang ditimbulkan sudah nyata (berupa perzinaan yang jelas-jelas dilarang oleh syariat Islam dan berdampak pada rusaknya moral dan nasab), sedangkan mashlahah (yang dianggap oleh Tim Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU) masih mauhumah (belum jelas). Dengan melegalkan lokalisasi, berarti membuat dloror baru (yang berupa lokalisasi).
  7. Dengan melegalkan lokalisasi, hal itu dapat menimbulkan persepsi buruk pada masyarakat bahwasanya zina itu diperbolehkan.
  8. Dalil dalil yang ditawarkan oleh Tim Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU bisa digunakan selagi tidak ada solusi lain. Kenyataannya, masih ada solusi lain selain melegalkan lokalisasi sebagaimana kebijakan yang dilakukan oleh Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharani yang berhasil menutup beberapa lokalisasi di Surabaya dan memberikan solusinya. (NU Online : 28/02/2014)

Referensi:
قواعد الأحكام في مصالح الأنام - (1 / 89) 
والذي يسميه الجهلة البطلة سياسة هو فعل المفاسد الراجحة أو ترك المصالح الراجحة على المفاسد. ففي تضمين المكوس والخمور والأبضاع مصالح مرجوحة مغمورة بمفاسد الدنيا والآخرة: {وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيلِ}، وبمثل هذا يفتنون الأشقياء أنفسهم بإيثار المفاسد الراجحة على المصالح قضاء للذات الأفراح العاجلة، ويتركون المصالح الراجحة للذات خسيسة أو أفراح دنيئة، ولا يبالون بما رتب عليها من المفاسد العاجلة أو الآجلة. وذلك كشرب الخمور والأنبذة للذة إطرابها، والزنا أو اللواط، وأذية الأعداء المحرمة، وقتل من أغضبهم وسب من غاضبهم، وغصب الأموال والتكبر والتجبر، وكذلك يهربون من الآلام والغموم العاجلة التي أمرنا بتحملها لما في تحملها من المصالح العاجلة، ولا يبالون بما يلتزمون من تحمل أعظم المفسدتين تحصيلا للذات أدناهما، وكذلك يتركون أعظم المصلحتين تحصيلا للذات أدناهما. أسكرتهم اللذات والشهوات فنسوا الممات وما بعده من الآفات فويل لمن ترك سياسة الرحمن، واتبع سياسة الشيطان، وارتكب الفسوق والعصيان، أولئك أهل البغي والضلال.

الأشباه والنظائر دار الكتب العلمية ص: 5
اما القاعدة الفقهية فإنها ليست أصلا في إثبات حكم جزءياتها بل حكم القاعدة نفسها مستمد من حكم جزءياتها إذ نجد أن كل قاعدة فقهية إنما تكونت من المعنى الجامع بين جزئيانها ومن أجلها حكم عليها بهذا الحكم.   

تيسير علم أصول الفقه .. للجديع  (1 / 7)
"الفرق بين القاعدة الأصولية والفقهية:
القاعدة الأصولية هي: دلالة يهتدي بها المجتهد للتوصل إلى استخراج الأحكام الفقهية، فهي آلته التي يستعملها لاستفادة تلك الأحكام، كالقواعد الثلاث المتقدمة. أما القاعدة الفقهية؛ فهي الجملة الجامعة من الفقه تندرج تحتها جزئيات كثيرة، بمنزلة النصوص الجوامع للمعاني، كالمناسبة التي تلاحظها بين القاعدة الفقهية: (الأمور بمقاصدها)، وبين قوله - صلى الله عليه وسلم -: ((إنما الأعمال بالنيات))

قواعد الأحكام في مصالح الأنام - (1 / 6)
وأما مصالح الآخرة ومفاسدها فلا تعرف إلا بالنقل، ومصالح الدارين ومفاسدهما في رتب متفاوتة فمنها؛ ما هو في أعلاها، ومنها ما هو في أدناها، ومنها ما يتوسط بينهما، وهو منقسم إلى متفق عليه ومختلف فيه. فكل مأمور به ففيه مصلحة الدارين أو إحداهما، وكل منهي عنه ففيه مفسدة فيهما أو في إحداهما، فما كان من الاكتساب محصلا لأحسن المصالح فهو أفضل الأعمال، وما كان منها محصلا لأقبح المفاسد فهو أرذل الأعمال. فلا سعادة أصلح من العرفان والإيمان وطاعة الرحمن، ولا شقاوة أقبح من الجهل بالديان والكفر والفسوق والعصيان. ويتفاوت ثواب الآخرة بتفاوت المصالح في الأغلب، ويتفاوت عقابها بتفاوت المفاسد في الأغلب. ومعظم مقاصد القرآن الأمر باكتساب المصالح وأسبابها، والزجر عن اكتساب المفاسد وأسبابها، فلا نسبة بمصالح الدنيا ومفاسدها إلى مصالح الآخرة ومفاسدها، لأن مصالح الآخرة خلود الجنان ورضا الرحمن، مع النظر إلى وجهه الكريم، فيا له من نعيم مقيم، ومفاسدها خلود النيران وسخط الديان مع الحجب عن النظر إلى وجهه الكريم، فيا له من عذاب أليم. إلى  أن قال : فائدة - قدم الأولياء والأصفياء مصالح الآخرة على مصالح هذه الدار لمعرفتهم بتفاوت المصلحتين ودرءوا مفاسد الآخرة بالتزام مفاسد بعض هذه الدار لمعرفتهم بتفاوت الرتبتين. وأما أصفياء الأصفياء فإنهم عرفوا أن لذات المعارف والأحوال أشرف اللذات فقدموها على لذات الدارين. ولو عرف الناس كلهم من ذلك ما عرفوه؛ لكانوا أمثالهم فنصبوا ليستريحوا واغتربوا ليقتربوا.

قواعد الأحكام في مصالح الأنام - (1 / 37)
فصل: في انقسام المفاسد إلى العاجل والآجل
المفاسد ثلاثة أقسام - أحدها: ما يجب درؤه فإن عظمت مفسدته وجب درؤه في كل شريعة وذلك كالكفر والقتل والزنا والغصب وإفساد العقول 

جامع الأحاديث - (15 / 313)
كل أمتى معافى إلا المجاهرين وإن من المجاهرة أن يعمل الرجل بالليل عملا ثم يصبح وقد ستره الله فيقول عملت البارحة كذا وكذا وقد بات يستره ربه ويصبح يكشف ستر الله عنه (البخارى ، ومسلم عن أبى هريرة) 

جامع الأحاديث - (2 / 274)
 إذا أرادَ الله بقريةٍ هلاكا أظهر فيهم الزنا (الديلمى عن أبى هريرة) 
الموافقات - (2 / 65)
أن المنافع والمضار عامتها أن تكون إضافية لا حقيقية، ومعنى كونها إضافية أنها منافع أو مضار في حال دون حال، وبالنسبة إلى شخص دون شخص، أو وقت دون وقت، فالأكل والشرب مثلا منفعة للإنسان ظاهرة، ولكن عند وجود داعية الأكل، وكون المتناول لذيذا طيبا، لا كريها ولا مرا، وكونه لا يولد ضررا عاجلا ولا آجلا، وجهة اكتسابه لا يلحقه به ضرر عاجل ولا آجل، ولا يلحق غيره بسببه أيضا ضرر عاجل ولا آجل، وهذه الأمور قلما تجتمع، فكثير من المنافع تكون ضررا على قوم لا منافع، أو تكون ضررا في وقت أو حال، ولا تكون ضررا في آخر، وهذا كله بين في كون المصالح والمفاسد مشروعة أو ممنوعة لإقامة هذه الحياة، لا لنيل الشهوات، ولو كانت موضوعة لذلك، لم يحصل ضرر مع متابعة الأهواء، ولكن ذلك لا يكون، فدل على أن المصالح والمفاسد لا تتبع الأهواء

فيض القدير - (1 / 343)
 (إذا أراد الله بقرية) أي بأهلها على حد * (واسأل القرية) * (هلاكا) بنحو كثرة قتل وطاعون وفقر وذل كما يدل له خبر الحاكم إذا كثر الزنا كثر القتل ووقع الطاعون وذلك لأن حد الزنا القتل فإذا لم يقم الحد فيهم سلط الله عليهم الجن فقتلوهم وفي خبر البزار إذا ظهر الزنا في قوم ظهر فيهم الفقر والمسكنة ونكر الهلاك لمزيد التهويل (أظهر) أي أفشى (فيهم الزنا) أي التجاهر بفعله وهو بالقصر أفصح وذلك لأن المعصية إذا خفيت لم تضر إلا صاحبها وإذا ظهرت ضرت الخاصة والعامة وخص الزنا لأنه يفسد الأنساب ونوع الإنسان الذي هو أشرف المخلوقات ولهذا لم يحل في شريعة قط ولما كان الجزاء من جنس العمل وكانت لذة الزنا تعم البدن جعل الله جزاءهم بعموم إهلاكهم وفي رواية الربا بدل الزنا بموحدة (فر عن أبي هريرة) وفيه حفص بن غياث فإن كان النخعي ففي الكاشف ثبت إذا حدث من كتابه ، وإن كان الراوي عن ميمون فمجهول.

ا الأحكام السلطانية  - (ج 2 / ص 10)
( فصل ) وأما المعاملات المنكرة كالزنا والبيوع الفاسدة وما منع الشرع منه مع تراضي المتعاقدين به إذا كان متفقا على حظره فعلى والي الحسبة إنكاره والمنع منه والزجر عليه وأمره في التأديب مختلف لحسب الأحوال وشدة الحظر . 

بغية المسترشدين - (1 / 537)
الرابع : نفس الاحتساب وله درجات : التعريف ، ثم الوعظ بالكلام اللطيف ، ثم السب والتعنيف ، ثم المنع بالقهر ، والأولان يعمان سائر المسلمين ، والأخيران مخصوصان بولاة الأمور

إحياء علوم الدين - (2 / 329)
الركن الرابع نفس الاحتساب
إلى أن قال-
الدرجة الخامسة التغيير باليد وذلك ككسر الملاهي وإراقة الخمر وخلع الحرير من رأسه وعن بدنه ومنعه من الجلوس عليه ودفعه عن الجلوس على مال الغير وإخراجه من الدار المغصوبة بالجر برجله وإخراجه من المسجد إذا كان جالسا وهو جنب وما يجري مجراه  -إلى أن قال - فاعلم أن الزجر إنما يكون عن المستقبل والعقوبة تكون على الماضي والدفع على الحاضر الراهن وليس إلى آحاد الرعية إلا الدفع وهو إعدام المنكر فما زاد على قدر الإعدام فهو إما عقوبة على جريمة سابقة أو زجر عن لاحق وذلك إلى الولاة لا إلى الرعية نعم الوالي له أن يفعل ذلك إذا رأى المصلحة فيه وأقول له أن يأمر بكسر الظروف التي فيها الخمور زجرا وقد فعل ذلك في زمن رسول الله صلى الله عليه و سلم تأكيدا للزجر // حديث تكسير الظروف التي فيها الخمور في زمنه صلى الله عليه و سلم أخرجه الترمذي من حديث أبي طلحة أنه قال يا نبي الله إني اشتريت خمرا لأيتام في حجري قال أهرق الخمر واكسر الدنان وفيه ليث بن أبي سليم والأصح رواية السدي عن يحيى بن عباد عن أنس أن أبا طلحة كان عندي قاله الترمذي // ولم يثبت نسخه ولكن كانت الحاجة إلى الزجر والفطام شديدة فإذا رأى الوالي باجتهاده مثل الحاجة جاز له مثل ذلك وإذا كان هذا منوطا بنوع اجتهاد دقيق لم يكن ذلك لآحاد الرعية فإن قلت فليجز للسلطان زجر الناس عن المعاصي بإتلاف أموالهم وتخريب دورهم التي فيها يشربون ويعصون وإحراق أموالهم التي بها يتوصلون إلى المعاصي 

Tuesday, 22 July 2014

Perkara Yang Membatalkan Puasa

Seperti sudah diketahui bahwa definisi puasa adalah :
Menahan diri dari segala yang membatalkan puasa dari mulai terbit fajar sampai terbenam matahari dengan berniat.

Oleh karena itu mulai dari terbit fajar shadiq sebagai pertanda masuknya waktu shalat Subuh, seorang yang berpuasa sudah harus menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya sampai matahari terbenam di penghujung siang. Jikalau tidak, berarti puasanya batal. Ini berdasarkan firman Allah Swt.:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنْ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ  

dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam… 

Maknanya diizinkan untuk mengkonsumsi makan dan minum sampai terbit fajar dan tidak lagi diizinkan untuk makan dan minum setelah itu sampai terbenam matahari.

Dan sunnah Rasul Saw.:
 قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا ، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا ، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ 
“Rasul Saw. Bersabda; apabila malam sudah datang dari arah sini (timur) dan malam beranjak dari arah sini, mataharipun tenggelam, maka sudah masuk waktu untuk berbuka bagi orang-orang yang berpuasa.”

Dalam tulisan ini, mari kita kupas hal- hal yang membatalkan puasa:
1.   Makan dan minum.
Umat islam telah bersepakat (ijma`) bahwa apabila ada orang yang makan dan minum dengan sengaja dan Ia mengetahui bahwa perbuatan itu adalah haram, maka puasanya batal, karena menahan diri dari makan dan minum adalah faktor esensi dari pelaksanaan ibadah puasa. Sedangkan perbuatannya bertentangan dengan pelaksanaan puasa tanpa ada udzur. Seperti yang dipaparkan di dalam Al Qur`an:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمْ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنْ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنْ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ  

… dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam… 

Jikalau seandainya ada sisa-sisa makanan di sela-sela gigi, kemudian terkena air ludah tanpa bermaksud mengkonsumsi sisa-sisa makanan yang ada, puasa tidak batal, dengan syarat apabila saat itu sulit untuk memisahkan mana air ludah dan mana sisa-sisa makanan yang terkonsumsi. Ketika itu diberikan dispensasi dan tidak dianggap menyengaja mengkonsumsinya.

Apabila ada yang makan dan minum karena lupa (tanpa sengaja), maka puasanya tidak batal. Lupa Saat Berpuasa itu Seolah-olah Allah telah memberinya rizki di bulan Ramadhan kepada orang yang berpuasa,sungguh ALLOOH maha Pemurah lagi Maha Penyayang.Berdasarkan hadits dari Abi Hurairah Ra.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

Dari Abu Hurairah Radliallahu ‘Anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Jika seseorang lupa lalu dia makan dan minum (ketika sedang berpuasa) maka hendaklah dia meneruskan puasanya karena hal itu berarti Allah telah memberinya makan dan minum” (HR. Bukhari).


2. Memasukkan sesuatu benda ke dalam rongga tubuh melalui lobang yang terbuka.
Benda yang dimaksud adalah setiap benda yang bisa ditangkap oleh indra manusia normal, besar ataupun kecil, meskipun sesuatu yang biasanya tidak dimakan, seperti benang dan jarum.

Rongga yang dimaksud adalah: bagian otak dan semua bagian organ tubuh yang berada setelah kerongkongan sampai kepada lambung dan usus-usus. Beda halnya dengan sesuatu yang masuk ke dalam rongga tidak melalui lobang yang terbuka, seperti melalui pori-pori, dll.

Lobang yang terbuka adalah: mulut, kedua lobang hidung, kedua lobang telinga, qubul (kemaluan), dubur (anus), dll.
Syarat sesuatu yang dimasukkan itu bias membatalkan puasa adalah, apabila dimasukkan dengan sengaja, bukan karena terpaksa/tidak bisa dihindari, seperti halnya debu atau lalat yang masuk tanpa disadari.

Berdasarkan keterangan diatas, maka;
Jikalau ada yang memasukkan sesuatu dari lobang-lobang yang terbuka dengan sengaja dan tanpa paksaan dari orang lain, maka puasanya batal. Ia wajib mengganti (qadha`) puasa di hari lain di luar bulan Ramadhan.

Jikalau ada yang memasukan sesuatu melalui perantara lobang hidung, puasanya batal.

Jikalau ada yang meneteskan sesuatu melalui telinga atau mengorek telinga, maka puasanya batal.

Jikalau ada yang memakai obat tetes mata, puasanya tidak batal, meskipun ia merasakan adanya rasa pahit dan semisalnya di dalam rongga. Karena tempat masuknya adalah mata, bukan lobang yang terbuka.

Jikalau ada yang diinjeksi (suntik) saat berpuasa, puasanya tidak batal, karena suntik tidak dimasukkan pada lobang terbuka, tapi di tempat yang memang tidak ada lobang yang menyalurkan ke dalam rongga, yaitu kulit.

Air ludah selama masih berada di dalam mulut meskipun tertelan kembali, tidak menyebabkan batal puasa. Karena hal tersebut sulit untuk menghindarinya bagi setiap orang yang masih hidup. Tetapi Jikalau air ludah sudah dikeluarkan dari mulut, kemudian ditelan kembali, maka puasanya batal. Begitu juga ketika air ludah yang masih ada di dalam mulut tetapi sudah bercampur dengan najis dan tertelan, seperti ada orang yang gusinya berdarah dan ia tidak mencucinya atau meludahkannya, maka puasanya batal.

Seseorang yang berwudhu` boleh untuk berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidungnya di siang hari, akan tetapi tidak boleh sampai ke pangkal hidung, apalagi masuk ke dalam. Jikalau Ia memasukkan air sampai ke pangkal hidung dan air masuk ke dalam atau berkumur-kumur sehingga air masuk ke dalam kerongkongan, puasanya batal.

Jikalau ada orang yang menyuntikkan sesuatu melalui dubur (anus), kadarnya sedikit atapun banyak, maka itu membatalkan puasanya. Karena ia telah memasukkan suatu benda ke dalam lobang yang terbuka dengan sengaja, meskipun zat yang dimasukkan tidak sampai ke usus dan lambung.

Jikalau ada perempuan yang meneteskan sesuatu ke dalam lobang air seni atau kemaluannya meskipun tidak sampai ke kantong kemih, maka puasanya batal, karena Ia telah memasukkan suatu benda ke dalam lobang yang terbuka dengan sengaja.Termasuk meskipun ia cuma memasukkan jari tangan ke dalam lobang kemaluannya.

3. Muntah disengaja.
Jikalau seseorang memasukkan tangannya atau memasukkan sesuatu ke dalam kerongkongannya yang menyebabkan ia merasa mual dan muntah, maka puasanya batal.

Jikalau tidak disengaja, tapi ia tidak sanggup menahan muntah; karena pusing, karena kecapean, karena bau yang tidak menyenangkan, karena perjalanan, dll..maka puasanya tidak batal.
َعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله تعالى عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم):
مَنْ
ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَمَنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ 

“Orang-orang yang tidak sanggup menahan muntahan, maka ia tidak wajib mengqadha puasanya dan orang –orang yang sengaja menyebabkant muntah, maka ia mesti mengqadha puasanya.”

Karena muntahan kalau sudah naik dari lambung, maka ia akan turun naik di dalam rongga, atau ada bagian dari muntahan yang kembali ke dalam lambung. Itu artinya ada benda yang masuk ke dalam rongga melalui lobang yang terbuka.

Jikalaupun muntahan keluar semuanya tidak ada lagi yang masuk kembali, maka puasanya tetap batal sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits.

4. Berhubungan badan suami-istri dengan sengaja.
Berhubungan badan suami istri pada siang hari membatalkan puasa, meskipun pergaulan itu tidak menyebabkan keluarnya sperma. Kepada pasangan suami-istri dibolehkan melakukannya di malam hari, tanpa berpengaruh terhadap puasa mereka selama dilakukan sampai sebelum terbit fajar. Sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
“Dihalalkan bagi kalian pada malam hari berpuasa untuk bergaul dengan istri-istri kalian”.

Para ahli tafsir mengartikan kalimat rafats di dalam ayat dengan jima` (pergaulan suami istri)

Di dalam ayat yang sama dijelaskan:
 فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ
“Maka sekarang gaulilah mereka (istri-istri kalian)”

Di dalam ayat yang sama juga dijelaskan:
 ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Kemudian sempurnakanlah puasa kalian sampai malam dan jangan kalian gauli mereka di saat kalian sedang beri`tikaf di  masjid-masjid”

Mubasyarah bermakna: bergaul suami-istri.

Berdasarkan penjelasan ayat maka dipahami bahwa bergaul suami-istri secara hubungan badan (seksual) membatalkan puasa. Jikalau bermesraan dengan istri tidak pada kemaluan (hubungan seks) atau sekedar mencumbui istri tapi menyebabkan keluar sperma, maka puasanya batal. Tetapi jikalau tidak menyebabkan keluar sperma, maka puasa mereka tidak batal.

Adapun orang-orang-orang yang masih dalam keadaan junub sampai masuknya waktu fajar; karena malam hari melakukan hubungan suami-istri atau malamnya mimpi basah, maka puasa mereka tidak batal. Mereka bisa mandi junub setelah fajar terbit dan menyempurnakan shaum mereka.


5. Istimna (berupaya mengeluarkan mani)
Yang dimaksud dengan istimna` adalah perbuatan yang sengaja mengeluarkan sperma tanpa melakukan hubungan badan. Seperti bercumbu, onani dengan tangan sendiri atau dengan tangan istri, atau dengan sentuhan pada kemaluan. Semua perbuatan itu membatalkan, karena ada upaya mengeluarkannya dengan sengaja.

Adapun jikalau sperma keluar bukan karena keinginan, seperti karena mimpi, berfantasi sesuatu yang indah atau melihat lawan jenis yang menarik, sehingga menyebabkan keluarnya sperma tanpa menyentuh kemaluan, maka puasanya tidak batal. Karena Ia tidak berupaya mengeluarkan sperma dengan sengaja secara langsung dari kemaluannya.

Adapun jikalau sekedar berciuman suami istri di saat berpuasa, tidak menyebabkan batalnya puasa. Hanya saja makruh hukumnya berciuman jikalau berciuman itu dapat membangkitkan syahwat, karena akan dapat menyebabkan seseorang sulit mengendalikan diri dan bisa membatalkan puasanya. Sebaiknya tidak melakukannya sama sekali di saat berpuasa.
كَانَ النَّبِيُّ ‏- صلى الله عليه وسلم - ‏‏يُقَبِّلُ ‏ ‏وَيُبَاشِرُ ‏‏وَهُوَ صَائِمٌ وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ ‏ ‏لِإِرْبِهِ "

“Nabi Saw mencium dan bermesraan (bukan pada kemaluan) dengan istri beliau di saat beliau sedang berpuasa dan beliau adalah orang yang paling kuat mengendalikan syahwat”

6. Haid dan nifas.
Jikalau seorang perempuan dari pagi hari dalam keadaan suci, kemudian di siang hari Ia mulai haid atau nifas, maka puasanya langsung batal. Ketika itu Ia mesti langsung membatalkan puasanya, karena Ia tidak lagi menjadi mukallaf untuk berpuasa. Dan ia justru berdosa jikalau menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa jikalau berniat berpuasa. Karena diantara syarat sahnya puasa adalah bersih dari haid dan nifas.

Puasa yang dibatalkannya tadi wajib diqadha` (diganti) di luar bulan Ramadhan, sedangkan shalatnya selama masa haid dan naifas tidak wajib di qadha`.

7. Hilang akal dan murtad (keluar dari agama islam).
Apabila seseorang hilang akal, karena gila, dll. atau keluar dari agama islam di siang hari, maka puasanya batal. Karena mereka ketika itu tidak lagi dihitung sebagai ahli ibadah, tidak lagi sah pelaksanaan ibadah dari mereka, termasuk puasa. Karena syarat orang-orang yang dituntut untuk berpuasa adalah berakal dan beragama islam. Sedangkan kedua syarat itu; berakal dan dalam keadaan islam tidak terpenuhi oleh seorang yang gila dan seorang yang murtad.

Inilah hal-hal yang menyebabkan membatalkan puasa, yang mesti dihindari oleh seorang yang sedang berpuasa.
Walloohu a'lam.

Template by:
Free Blog Templates